Googling merupakan terminologi baru di Amerika Serikat, terutama bagi pecandu Internet. Jangan mencoba mencari arti terminologi ini dalam kamus Webster, Anda tidak akan (atau mungkin belum) menemukannya.
Googling berarti mencari. Ruang lingkup mencari tidak hanya terbatas di Internet, melainkan dalam arti kata fisik. Terminologi ini mengacu pada brand Google, sebuah brand search engine. Fakta ini menunjukkan betapa melekatnya asosiasi “mencari” terhadap brand Google. Hasilnya mujarab bagi Google. Search engine ini, walaupun kedatangan ke belantara bisnis Internet adalah belakangan, ternyata dapat menggusur dominasi para veteran. Pertama Inktomi sebagai penguasa teknologi search engine, lalu dilanjutkan serangan kepada Yahoo!, sang penguasa bisnis Internet business to consumer.
Business Week (7/12/05) melaporkan, Google saat ini bernilai US$120 milyar. Angka ini hamper dua kali lipat dari APBN Indonesia. Angka ini juga jauh melebihi nilai mayoritas raksasa perusahaan konvensional maupun digital. Time-Warner “hanya” bernilai sekitar US$80 milyar, sedangkan Yahoo! sendiri hanya US$60 milyar. Bagaimana kalau dibandingkan dengan nilai perusahaan di Indonesia?
Filosofi–filosofi Kesuksesan Google
Kesuksesan Google tidak datang dengan sendirinya. Filosofi kesukesan Google yang pertama adalah kepercayaan diri yang kuat dari duo pendirinya. Anna (2002) menyebutkan bahwa kepercayaan diri dengan tetap bersandar pada fakta–fakta yang rasional merupakan kunci sukses pertama dan paling utama dari seseorang atau perusahaan.
Konon ketika teknologi search engine Google baru ditemukan, duo pencipta sekaligus pendiri Google mengalami kesulitan untuk mencari “angel investor”. Banyak pintu sudah diketuk, tapi tidak ada jawaban yang berarti. Bahkan seorang legenda investasi Silicon Valley menyarankan bahwa teknologi ini sebaiknya dijual putus saja, dengan harga beberapa ratus ribu dollar. Filosofi kesuksesan Google yang kedua adalah inovasi yang tiada henti. Schumpeter (1915) menyebut situasi ini sebagai creative destruction, situasi di mana inovasi terus menerus dari para wirausaha baru akan menciptakan social harmony baru, di mana perusahaan status quo akhirnya harus menyerahkan “tahtanya” kepada pendatang baru.
Kalau Google hanya berhenti pada fungsi search engine, mungkin Google yang kita kenalbukanlah Google seperti saat ini. Google merupakan perusahaan yang lapar keinginan untuk melahirkan inovasi, setidaknya sampai hari ini. Inovasi–inovasi tidak hanya terbatas pada memuaskan keegoan akan teknologi. Inovasi dikawinkan dengan tujuan bisnis, yaitu mencari laba dan eksistensi perusahaan. Pertama Google hanya “menyewakan” lisensi searching, kemudian mereka mengawinkan teknologi searching dengan target-ad. Skema bisnis pun diubah. Apabila pada umumnya pemasang iklan harus bayar di depan, Google menawarkan sistem bagi hasil. Apabila terdapat transaksi, baru kemudian Google dibayar.
Filosofi ketiga dan terakhir, mutualisme kesuksesan. Holden (2005) menulis, kesuksesan,baik jangka pendek maupun panjang, hadir karena adanya kesuksesan internal dan eksternal.
Kesuksesan internal berarti Google harus meramu antara “hati” dan “pikiran” dari para personil organisasi untuk menempuh jalan kesuksesan yang sama. Kesuksesan eksternal berarti kesuksesan Google harus menciptakan value added yang positif terhadap kesuksesan stakeholders mereka, terutama konsumen yang dilayaninya.
This entry was posted
on 01.12
and is filed under
Internet
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar